Jakarta, 7 Juli 2025 — Film Indonesia berjudul “Laut Tak Bernama” sukses mengharumkan nama bangsa setelah meraih standing ovation selama 6 menit di ajang bergengsi Festival Film Cannes 2025, yang berlangsung pekan lalu. Film yang disutradarai oleh Kamila Andini ini mengangkat tema kehilangan dan trauma akibat tragedi maritim di Indonesia bagian timur, dengan sentuhan sinematik yang sangat emosional.
Kisah Tragis dari Laut Timur Indonesia
“Laut Tak Bernama” berkisah tentang seorang ibu nelayan bernama Ningsih, diperankan oleh aktris senior Sha Ine Febriyanti, yang kehilangan anak semata wayangnya dalam tragedi tenggelamnya kapal ikan ilegal di perairan Maluku. Dalam penantiannya yang panjang, Ningsih menolak menerima kenyataan bahwa anaknya telah tiada.
“Cerita ini lahir dari riset panjang kami di desa-desa pesisir yang hidupnya bergantung penuh pada laut, tapi sering jadi korban kebijakan yang tidak adil dan minimnya pengawasan keselamatan,” ujar Kamila Andini.
Estetika Sinema yang Menyayat Jiwa
Film ini memadukan gambar-gambar laut yang megah dengan narasi sunyi penuh perasaan. Sinematografi karya Ical Tanjung mendapat pujian karena mampu menangkap keheningan laut sebagai metafora kehilangan yang dalam. Musik latar gubahan Ananda Sukarlan memperkuat nuansa duka sekaligus ketegaran.
Beberapa adegan menampilkan dialog dalam bahasa daerah asli Maluku dan Alor, membuat film ini terasa otentik dan dekat dengan kenyataan lokal.
Prestasi Internasional dan Peluang Oscar
Setelah diputar di Cannes, “Laut Tak Bernama” dijadwalkan mengikuti Toronto International Film Festival (TIFF) dan Venice Film Festival. Film ini juga menjadi kandidat kuat sebagai wakil resmi Indonesia untuk ajang Academy Awards 2026 di kategori Film Internasional Terbaik.
“Kami ingin cerita-cerita lokal ini dilihat oleh dunia. Bahwa laut bukan hanya keindahan, tapi juga medan luka yang harus dikenang dan ditangani dengan bijak,” kata Kamila.
Respon Positif dari Publik dan Kritikus
Di Indonesia sendiri, trailer film ini sudah viral dengan jutaan views di media sosial. Banyak yang terharu melihat kisah seorang ibu yang terus menyalakan lilin harapan di antara ombak kehilangan.
Kritikus film dari The Guardian menyebut film ini sebagai “a rare combination of poetic silence and political voice”, dan Le Monde menulis, “Indonesia telah mempersembahkan sebuah lukisan emosional yang kuat tentang laut sebagai rumah sekaligus kuburan.”
Kesimpulan
“Laut Tak Bernama” bukan sekadar film tentang tragedi, tapi cermin sosial dan budaya yang dalam, menggambarkan bagaimana kehilangan bisa menjadi pelajaran tentang cinta, kepercayaan, dan perlawanan terhadap kelalaian struktural.
Film ini membuktikan bahwa sinema Indonesia kian diperhitungkan di mata dunia, tidak hanya karena kualitas teknisnya, tetapi juga karena keberaniannya menyuarakan cerita-cerita yang selama ini terdiam.