09 Juli 2025
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan digital yang serba cepat, generasi muda Indonesia mulai mencari keseimbangan hidup lewat gaya hidup slow living. Bukan sekadar tren, slow living kini telah menjadi gerakan sosial baru yang mengedepankan kesadaran, kesederhanaan, dan keberlanjutan.
Apa Itu Slow Living?
Slow living adalah filosofi hidup yang mengajak orang untuk lebih menghargai waktu, menjalani hidup dengan perlahan, dan penuh kesadaran. Gaya hidup ini menolak budaya hustle yang menuntut produktivitas berlebih, dan justru mendorong hidup yang bermakna dan terhubung dengan diri sendiri serta alam.
Prinsip utamanya meliputi:
-
⌛ Menikmati momen tanpa tergesa-gesa
-
🧘 Hidup seimbang secara mental dan emosional
-
🌱 Konsumsi dan gaya hidup yang berkelanjutan
-
🤝 Koneksi sosial yang lebih dalam, bukan sekadar interaksi cepat
Mengapa Slow Living Kembali Populer di 2025?
Pasca pandemi, masyarakat—terutama generasi milenial dan Gen Z—semakin menyadari pentingnya kesehatan mental dan keberlanjutan. Ketidakpastian ekonomi dan kejenuhan akibat budaya kerja 24/7 mendorong mereka beralih ke pola hidup yang lebih tenang namun bermakna.
Menurut survei dari Urban Millennial Wellness Insight, 67% responden usia 18-35 tahun menyatakan ingin “melambatkan hidup” dan meninggalkan budaya toxic productivity.
Ciri-Ciri Gaya Hidup Slow Living yang Sedang Naik Daun
-
Morning Ritual Tanpa Gadget
Banyak yang memulai hari dengan meditasi, journaling, membaca buku fisik, atau menyeduh kopi manual. -
Desain Rumah Minimalis & Fungsional
Hunian dengan banyak tanaman, cahaya alami, dan interior yang tenang menjadi pilihan utama. -
Kembali ke Alam
Liburan ke desa, berkebun, dan mengunjungi taman kota menjadi kegiatan favorit baru. -
Makan Secara Mindful
Memasak sendiri, memilih bahan lokal dan organik, serta menikmati makan tanpa gangguan layar. -
Digital Detox Rutin
Menghapus aplikasi sosial media untuk beberapa hari/minggu menjadi praktik umum bagi pelaku slow living.
Komunitas dan Figur Publik yang Mempopulerkan
Sejumlah selebriti dan influencer kini juga turut mempromosikan gaya hidup ini, seperti:
-
Nadine Chandrawinata, lewat kontennya soal cinta lingkungan dan eksplorasi alam
-
Aurelia Moeremans, yang kini sering membagikan momen “low effort, high meaning”
-
Maudy Ayunda, yang dikenal menjalani hidup penuh kesadaran di bidang akademik dan sosial
Komunitas seperti Slow Living Indonesia bahkan sudah memiliki lebih dari 100.000 pengikut di media sosial, lengkap dengan workshop bulanan dan kelas online.
Tantangan dan Solusi
Meski terlihat ideal, menerapkan slow living bukan tanpa tantangan—khususnya di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Keterikatan dengan pekerjaan, tekanan sosial, dan biaya hidup yang tinggi sering membuat gaya hidup ini sulit dilakukan.
Namun dengan pendekatan bertahap seperti “slow weekend”, mengatur waktu layar, dan mengurangi konsumsi impulsif, masyarakat urban tetap bisa ikut merasakan manfaatnya.
Kesimpulan
Tren slow living 2025 bukan sekadar cara baru menjalani hidup, tapi upaya sadar untuk kembali ke akar: hidup yang lebih manusiawi, terhubung, dan bermakna. Bagi generasi muda yang lelah dengan dunia yang selalu berlari, slow living adalah jawaban untuk menemukan kedamaian dalam kesederhanaan.